2025-01-09

Pertengkaran Identitas

 

Kita membawa suatu identitas dalam tubuh, pikiran, dan darah yang akan kita bawa seumur hidup. Identitas ini sering kali menentukan bagaimana cara kita berpikir dan bertingkah laku, bahkan tak jarang menjerumuskan kita pada pandangan yang tidak dapat kita pahami sendiri. Identitas asal seperti di mana kita lahir, warna kulit, dan jenis rambut, sudah menjadikan kita istimewa sejak awal. Namun, ada identitas lain yang aneh dan mungkin tidak masuk akal: kita disatukan oleh identitas yang dipilihkan oleh orang lain. Identitas ini meliputi asal sekolah, agama, negara, hingga identitas yang tampak lucu dan menggemaskan seperti menjadi bagian dari "Army," "Swifties," atau komunitas suporter lokal seperti "Aremania," "Bonex," bahkan "Bus Mania."

Betapa banyak orang yang membentuk komunitas atas dasar persamaan yang tampaknya sepele: penghobi sepeda motor Honda Beat, mobil kuno, atau kecintaan terhadap One Piece dan drama Korea. Masing-masing komunitas ini terus membanggakan dirinya sendiri dengan semangat yang luar biasa, sembari (kadang tidak disadari) merendahkan komunitas lain yang sejenis. Misalnya pertengkaran fans bola, pertengkaran Army dan Blinks, bahkan fans Naruto dan AOT juga pernah bertengkar. Ada rasa kebanggaan yang tumbuh di satu sisi, dan rasa superioritas terhadap kelompok lain di sisi lain. Fenomena ini, meskipun terlihat kecil dan tidak signifikan, menunjukkan betapa manusia cenderung mencari dan menciptakan batas identitas.

Jika dilihat dari sudut pandang yang lebih besar, kondisi ini dapat mengarah pada primordialisme hingga fanatisme. Pemuliaan terhadap identitas yang berlebihan sering kali menjadi akar kekerasan di dunia ini. Banyak konflik besar yang mencerminkan pertikaian atas dasar perbedaan identitas. Amartya Sen dalam bukunya Identitas dan Kekerasan, menggambarkan bagaimana identitas seseorang dapat memengaruhi persepsi orang lain. Dia ketika sedang berada di bandara, paspor India miliknya diperiksa oleh petugas imigrasi. Rumahnya saat itu adalah di Wisma Rektor Trinity College, Cambridge—salah satu kampus tersohor di Inggris. Petugas imigrasi tersebut bertanya dengan nada skeptis, “Apakah rektor adalah teman Anda?” Padahal, saat itu Amartya Sen menjabat sebagai Rektor Trinity College.

Pertanyaan itu menunjukkan bahwa identitas Sen sebagai orang India langsung memunculkan stereotip dalam benak petugas. Orang India diasosiasikan sebagai seseorang yang tidak mungkin tinggal di Wisma Rektor, apalagi menjadi rektor sebuah institusi bergengsi. Pengalaman ini menunjukkan bahwa identitas sering kali menentukan persepsi manusia lain terhadap apa yang kita lakukan, apa yang pantas kita dapatkan, dan bagaimana kita mendapatkan sesuatu. Betapa banyak kita yang berprasangka terhadap seseorang hanya karena identitas kelahiran yang tidak dapat dipilihnya? Betapa sering kita gagal melihat manusia secara utuh, terjebak dalam pengkotakan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri?

Dalam film ‘The Man Who Knew Infinity…”, Ramanujan yang merupakan orang miskin India, tinggal di lingkungan kumuh dan suka pergi ke Vihara, mendapatkan pencerahan luar biasa sebagai ahli matematika. Ia menjawab seluruh persoalan matematika yang belum dijawab oleh matematikawan di seluruh dunia. Kepala pegawai di kantor pos yang mengetahui kecerdasan Ramanujan, lalu mengirim surat ke Trinity College, dan sulit mendapatkan respon hingga beberapa tahun kemudian. Padahal Ramanujan adalah sosok yang sekarang diasosiasikan penerus matematikawan level dunia seperti Euler dan Gauss.

Jelas dalam kondisi tersebut, ada ketidakpercayaan di Eropa bahwa ada sosok jenius di India yang disamakan dengan Newton, Euler, dan Gauss. Bahkan seesama negara jajahan, kita tidak bisa membayangkan bagaimana bisa seorang remaja tanpa pendidikan memiliki pemikiran yang cemerlang. Apalagi orang Inggris yang waktu itu bagian dari benua Eropa selalu menganggap negara timur dipenuhi kebodohan dan tidak berbudaya. Identitas ‘asia’ ini bukanlah identitas yang membanggakan waktu itu, -dan mungkin hingga asat ini- padahal kita tidak bisa memilih di mana kita akan dilahirkan.

Kembali ke Amartya Sen, ia menyoroti bahwa kekerasan di dunia ini seringkali bersumber dari cara pandang manusia terhadap identitas orang lain yang dianggap berbeda. Kekerasan ini bahkan kerap dianggap wajar, terutama jika tidak berkaitan langsung dengan identitas kita sendiri. Manusia sering kali didefinisikan melalui identitas-identitas tertentu yang memisahkan mereka dari sesamanya. Identitas semacam agama, etnisitas, atau kebangsaan, misalnya, sering digunakan untuk menyederhanakan kompleksitas individu dan dengan mudah mengelompokkan mereka ke dalam kategori tertentu yang kemudian dikaitkan dengan perilaku tertentu pula.

“Rasa keterikatan yang kuat dan eksklusif pada suatu kelompok dapat mengundang persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain. Kesetiakawanan kelompok ini dapat memicu perselisihan antarkelompok” (Sen, hal. 4). Penting untuk dicatat bahwa jarak dan keterpisahan ini sering kali melahirkan sikap salah paham, yang pada akhirnya menciptakan pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Ketika seseorang merasa “sangat” berbeda dari individu lain, maka simpati berkurang, dan batas moralitas sering kali kabur.

Fenomena ini juga dapat dilihat pada hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya di bumi, seperti sapi, ayam, atau kambing. Dalam ritual Idul Adha, misalnya, jutaan hewan dikurbankan sebagai bagian dari perayaan keagamaan. Kita jarang merasa bersalah atas praktik ini karena hewan-hewan tersebut telah dipisahkan dari manusia melalui hierarki yang didasarkan pada keyakinan. Tuhan, dalam keyakinan ini, dianggap menetapkan kambing dan sapi sebagai makhluk yang lebih rendah sementara manusia sebagai sosok mulia yang berhak menyembelihnya. Namun, bayangkan bahwa sapi sangat dihormati di India dan bahkan disembah layaknya tuhan.

Lalu bayangkan bagaimana manusia bisa membunuh manusia lainnya hanya karena perbedaan identitas ini; Hitler dan perang dunianya, G30SPKI, atau pembantaian massal lainnya. Memandang seseorang hanya melalui satu identitas saja adalah kesalahan besar. Contohnya, seorang Muslim yang sering dilihat oleh sebagian orang Barat sebagai ekstremis. Anggapan ini begitu mengakar sehingga seolah-olah semua Muslim pasti akan meledakkan gereja atau mal jika ada kesempatan. Hal serupa terjadi dalam konteks kesukuan. Hanya karena seseorang lahir di Indonesia bagian timur, mahasiswa berkulit hitam di Pulau Jawa kerap dipandang sebagai individu dengan pendidikan rendah, pemabuk, dan suka membuat onar.

Pandangan sempit seperti ini harus kita tolak dan kita harus membersihkan pikiran kita sendiri agar meletakkan seluruh manusia Bersama identitasnya sama tinggi dan sama rendah. Memandang manusia hanya sebagai bagian dari satu kelompok semata akan mengabaikan kompleksitas identitas yang mereka miliki. Alih-alih membedakan seorang Kristen dan seorang Muslim, mengapa kita tidak memandang bahwa mereka adalah sesama warga negara Indonesia? Bahwa mereka sama-sama Pancasilais, mahasiswa, pemuda, mungkin keduanya vegetarian, atau bahkan penggemar sastra, atau sebagai sesama warga dunia? Sesama manusia yang kalau ada invansi alien ke Bumi, dia alah sekutu kita?

Betapa indahnya jika kita mampu melihat dua individu dengan latar belakang berbeda dari sudut pandang kesamaan mereka. Identitas manusia sejatinya tidak pernah tunggal. Identitas bersifat jamak, tergantung dari sudut mana ia memandang dirinya sendiri atau dipandang oleh orang lain. Sayangnya, kecenderungan untuk menyederhanakan identitas ini justru menciptakan perpecahan di tingkat kecil, konflik di tingkat menengah, hingga peperangan di tingkat yang lebih besar.

Identitas Terberi dan Pilihan

Tulisan ini tidak bermaksud menolak bahwa manusia Indonesia memiliki satu identitas asal yang tak terelakkan, yaitu suku bangsa dan bahasa. Seorang manusia lahir di suatu tempat yang telah memiliki sistem budaya, agama, dan bahasa yang mapan, bahkan mencakup tata perilaku, cara wicara, hingga pola pikir. Semua hal yang kita lakukan kemudian sangat dipengaruhi oleh budaya tempat kita berasal. Kita diajarkan untuk tidak keluar dari budaya yang melahirkan dan mendewasakan kita, serta mengikuti aturan-aturan yang berlaku di dalamnya. Pada satu sisi, pandangan ini benar karena budaya adalah elemen penting yang membentuk kepribadian kita. Namun, di sisi lain, pandangan ini bisa menjadi salah jika mengekang individu untuk berkembang melampaui batasan budaya tersebut.

Identitas kesukuan adalah sesuatu yang terberi—ditentukan oleh Tuhan dan melekat pada seseorang sejak ia lahir. Namun, identitas lainnya merupakan hasil pilihan individu. Menariknya, identitas terberi seperti kesukuan atau bahasa sering kali tidak menimbulkan friksi sebanyak identitas pilihan. Contohnya, peristiwa rasisme yang terjadi di Surabaya dan Malang beberapa tahun lalu, ketika mahasiswa Papua diteriaki dengan sebutan "monyet." Konflik tersebut tidak semata-mata dipicu oleh perbedaan identitas kesukuan antara Jawa dan Papua. Sebaliknya, akar permasalahannya lebih berkaitan dengan identitas pilihan, yaitu apakah seseorang memilih menjadi bagian dari Indonesia atau memperjuangkan kemerdekaan Papua.

Identitas budaya memang penting, tetapi tidak pernah berdiri sendiri. Identitas ini selalu dipengaruhi oleh berbagai hal lain yang membentuk pemahaman dan prioritas individu. Oleh karena itu, identitas pilihan sering kali lebih berpengaruh dan berpotensi memicu konflik dibanding identitas bawaan. Sebagai contoh, dua orang yang sama-sama berasal dari Madura dapat memiliki pandangan hidup dan sikap yang sangat berbeda jika mereka berafiliasi dengan organisasi kemasyarakatan yang berbeda, misalnya salah satunya berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan yang lainnya dengan Syiah. Perbedaan ideologi dalam organisasi semacam ini dapat memengaruhi pandangan individu secara signifikan.

Hal ini menunjukkan bahwa identitas seseorang tidak pernah bersifat tunggal. Identitas selalu saling memengaruhi, dan identitas yang memiliki pengaruh paling kuat pada individu cenderung membawa dampak yang lebih besar dalam kehidupannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengupayakan semangat menyamakan identitas dalam "rumah dunia." Semangat ini tidak berarti menghapus perbedaan, tetapi menekankan bahwa tidak ada identitas yang harus mengorbankan identitas lain demi menonjolkan kekhususannya. Semua manusia pada dasarnya sama sebagai manusia, tanpa memandang agamanya, pilihan makanan, orientasi seksual, atau bahkan gaya rambutnya.

2024-12-28

Maskulin, Standar Lelaki Masa Kini

Istilah maskulin berasal dari bahasa Inggris “muscle,” yang berarti “otot” dalam bahasa Indonesia. Makna maskulin di sini merujuk pada sifat yang didasarkan pada kekuatan fisik atau otot, yang berarti kuat. Istilah ini diasosiasikan dengan laki-laki karena dianggap sebagai makhluk dengan kekuatan fisik yang lebih berotot dibandingkan perempuan. Fenomena pergeseran gaya hidup saat ini menunjukkan bahwa banyak pria yang lebih memperhatikan penampilan, salah satunya terlihat melalui tren modernisasi dalam masyarakat. Fenomena pria metroseksual merupakan hal positif karena pria menjadi lebih peduli dalam merawat diri. Representasi pria metroseksual dalam iklan dan media mendorong pria lain untuk mulai menjaga dan merawat penampilan mereka.

Ketika tren metroseksual berkembang, pasar produk yang mendukung gaya hidup ini pun ikut tumbuh. Berbagai macam produk perawatan dan kecantikan dirancang khusus untuk menunjang penampilan pria. Bahkan, merek yang sebelumnya hanya menyediakan produk kosmetik untuk perempuan mulai memperluas pasarnya ke segmen laki-laki. Media juga berperan besar dalam membangun konstruksi sosial terkait ideologi maskulin melalui pesan-pesan yang disampaikan. Media seringkali menggambarkan sisi maskulin pria melalui ilustrasi dalam iklan, yang menyasar target pasar dan calon konsumen tertentu.

Sebagai contoh, iklan produk minuman kerap menggambarkan pria berotot yang menjadi idaman perempuan. Iklan produk rokok pun sering menampilkan pria pemberani, tangkas, berwibawa, macho, dan berani menantang maut. Seiring waktu, penggambaran maskulinitas mengalami perkembangan yang terus berubah dari dekade ke dekade. Beynon membagi bentuk maskulinitas pria berdasarkan tren zaman dari tahun 1980-an hingga 2000-an. Pada era 2000-an, pria menunjukkan gejala yang mengindikasikan kemunculan terminologi baru, yaitu pria metroseksual.

Seksualitas metroseksual menjadi salah satu ciri baru pria maskulin. Media sering menggambarkan pria maskulin dengan ciri-ciri tubuh yang ideal dan berotot. Sosok pria maskulin digambarkan sebagai mereka yang menjaga, merawat, dan membentuk tubuhnya. Maskulinitas adalah imajinasi tentang kejantanan, keberanian, ketangkasan, keteguhan hati, serta daya tarik laki-laki yang spesifik, seperti otot yang menonjol, keringat yang menetes, dan kekuatan fisik. Semua elemen ini menggambarkan daya tarik maskulin yang terasosiasi secara sosial dan budaya.

Maskulinitas, pada intinya, adalah konstruksi sosial yang menggambarkan bagaimana laki-laki seharusnya bersikap. Konstruksi ini berbeda-beda pada setiap masyarakat dan berubah sesuai dengan waktu. Dalam budaya kontemporer, gagasan tentang maskulinitas telah bergeser secara signifikan seiring perubahan perspektif sosial dan budaya. Saat ini, maskulinitas sering diasosiasikan dengan kekuatan fisik, agresivitas, dominasi, dan kemampuan untuk menopang keluarga. Namun, sifat seperti kecerdasan emosional, kemampuan berempati, dan kerentanan juga mulai diakui sebagai bagian dari maskulinitas, meskipun jarang menjadi fokus utama.

Michael Kimmel, seorang sosiolog, mengidentifikasi empat cita-cita maskulinitas dalam budaya modern: pemenang, pelindung, pekerja keras, dan pria kuat. Pria sering digambarkan sebagai sosok yang cukup tangguh untuk menjadi pemenang dan tidak pantas kalah dalam pertempuran. Mereka diharapkan mampu melindungi keluarga, teman, bahkan negara. Dalam stereotip masyarakat modern, pria adalah sosok yang tangguh secara fisik dan cukup kuat untuk menjadi kepala rumah tangga. Selain itu, pria juga diharapkan ambisius, termotivasi, dan sukses secara personal maupun profesional. Konsep ini sangat mirip dengan definisi maskulinitas yang dirumuskan James Brannon pada tahun 1970-an.

Manhood Checklist

Brannon mengembangkan sebuah konsep bernama Manhood Checklist, yang menggambarkan norma dan stereotip tradisional tentang maskulinitas di masyarakat Barat. Konsep ini sering dijadikan kerangka untuk memahami bagaimana pria diharapkan bersikap dalam masyarakat patriarkal. Konsep ini mencakup enam norma utama yang sering menjadi ekspektasi terhadap pria. Pertama, "No Sissy Stuff", yang menuntut pria untuk menjauhkan diri dari segala hal yang dianggap feminin atau lemah. Sebagai contoh, pria yang menghindari menangis meskipun dalam situasi emosional karena takut dianggap lemah. Kedua, "Be a Big Wheel", yang menekankan kesuksesan, status, dan kekuasaan sebagai indikator maskulinitas. Misalnya, seorang pria merasa dirinya baru dianggap "berharga" jika memiliki jabatan tinggi atau kekayaan melimpah.

Ketiga, "Be a Sturdy Oak", yang mengharapkan pria menjadi kuat, stabil, dan tegar tanpa menunjukkan emosi. Dalam praktiknya, ini terlihat pada pria yang menahan rasa sakit fisik atau emosional karena merasa harus menjadi "pilar keluarga." Keempat, "Give 'Em Hell", yang mendorong keberanian, agresi, dan pengambilan risiko sebagai ciri utama pria. Contohnya, seorang pria mungkin mengambil keputusan berbahaya seperti balapan ilegal untuk membuktikan keberanian dan kegagahannya. Kelima, "Be a Study in Success", yang mengharuskan pria menjadi teladan keberhasilan dalam berbagai aspek kehidupan. Pria sering merasa tertekan untuk tampil sempurna, seperti memiliki karier cemerlang, rumah mewah, dan keluarga bahagia sebagai simbol keberhasilan. Terakhir, "Machismo", yang menekankan dominasi fisik, kekuatan seksual, dan keberanian sebagai ciri maskulinitas. Hal ini terlihat pada pria yang berusaha tampil dominan dalam hubungan atau menunjukkan kekuatan fisiknya dalam situasi konflik.

Dunia modern cenderung memiliki definisi maskulinitas yang lebih masuk akal, kompleks, dan inklusif. Namun, konsep Brannon masih relevan dan mencerminkan maskulinitas yang khas dalam budaya modern. Tantangannya sekarang adalah media massa yang sering secara membabi buta menyebarkan ide tentang maskulinitas sesuai dengan kepentingan iklan. Selain menggiring opini publik, media juga menjadi "hakim" yang menentukan siapa yang dianggap paling benar atau pantas, bahkan mengeksploitasi gender demi menarik perhatian audiens. Dengan kemampuan menjangkau masyarakat luas, terutama di era digital, media menjadi alat yang sangat efektif dalam menyampaikan informasi.

Hal-hal yang berkaitan dengan penampilan fisik laki-laki dan perempuan kerap menjadi bahan komersial bagi media. Selain itu, media online memberikan citra ideal yang sering kali tidak realistis untuk memenuhi fantasi pembaca, terutama laki-laki, melalui konten yang bersifat seksual. Iklan juga sering menunjukkan nilai kapitalisme, di mana komersialisasi mengalahkan nilai kemanusiaan. Berbagai citra tubuh laki-laki dan perempuan dihadirkan semata untuk kepentingan bisnis. Periklanan sendiri adalah proses komunikasi yang bertujuan memengaruhi ide atau gagasan sekelompok orang melalui media. Iklan didefinisikan sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang atau jasa melalui informasi yang persuasif.

Media massa memiliki peran signifikan dalam memproduksi dan membentuk persepsi masyarakat. Selain berfungsi sebagai sarana hiburan, media seperti televisi juga memiliki fungsi konstruksi sosial, menawarkan definisi tertentu tentang kehidupan manusia. Iklan televisi menciptakan persepsi tentang realitas dan sering kali menentukan cara orang memandang dirinya. Dalam era modernisasi, media sosial menjadi sarana utama masyarakat untuk mendapatkan informasi. Informasi ini mencakup berbagai hal, mulai dari berita, hiburan, olahraga, hingga konten edukatif lainnya. Media sosial, seperti YouTube, kini menjadi alternatif utama untuk mendapatkan informasi dengan cara yang mudah dan modern.

YouTube, sebagai platform berbagi video, memungkinkan setiap orang berbagi berbagai jenis konten, termasuk iklan. Sejak tahun 2005, YouTube mengalami perkembangan signifikan, termasuk dalam konsep periklanannya. Pada tahun 2006, YouTube mulai digunakan sebagai media pemasaran yang efektif dengan potensi pendapatan dari iklan. Seiring perkembangan ini, iklan bukan hanya sarana promosi, tetapi juga alat persuasif yang memengaruhi audiens. Dengan pesan yang dirancang secara persuasif, iklan dapat membentuk persepsi dan perilaku audiens sesuai dengan tujuan pengiklan.

Pesan iklan sering kali dibuat dengan pencitraan tertentu untuk menggiring audiens pada perilaku yang diinginkan. Banyaknya iklan di berbagai media membuat pengiklan berlomba-lomba menciptakan konten yang menarik dan mudah diingat. Iklan bahkan dianggap sebagai acuan masyarakat karena tampilannya yang dianggap relevan dan menarik. Dalam strategi promosi, perusahaan harus memahami produk dan target konsumennya agar iklan efektif. Promosi yang kreatif tidak hanya meningkatkan kesadaran merek tetapi juga mendorong konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan.

Namun, perlu disadari bahwa iklan juga dapat memengaruhi konstruksi sosial tentang gender, termasuk maskulinitas. Gender sendiri merupakan interpretasi budaya tentang perbedaan jenis kelamin, yang membagi tugas berdasarkan apa yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan. Maskulinitas, meskipun sering dianggap alami, sebenarnya merupakan hasil konstruksi budaya yang memuat nilai-nilai seperti kekuatan, kekuasaan, kemandirian, dan solidaritas laki-laki. Dengan kata lain, maskulinitas adalah strata sosial yang dibentuk oleh budaya, bukan sifat bawaan.

Iklan yang tersebar melalui media turut membentuk pandangan masyarakat tentang gender. Banyak iklan perawatan tubuh, misalnya, menawarkan cara bagi konsumen untuk menjadi "pria ideal" seperti yang digambarkan dalam iklan tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana media berperan dalam membangun dan mempertahankan stereotip gender, termasuk maskulinitas laki-laki.

oleh Fathul Qorib (Pengajar Jurnalistik, Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi)

Referensi

Tulisan di atas bersumber dari tulisan saya dalam format bahasa inggris: https://journal.rc-communication.com/index.php/AICCON/article/view/142/80

Bacaan lebih lanjut dari konsep Brannon bisa dibaca pada: Brannon, R. (1976). "The Male Sex Role: Our Culture's Blueprint for Manhood and What It's Done for Us Lately." Dalam D. S. David & R. Brannon (Eds.), The Forty-Nine Percent Majority: The Male Sex Role (hlm. 1–45). Reading, MA: Addison-Wesley.

2022-06-15

Cerpen: Lelaki Seratus Tahun


Lengking suara Lek Sukardi di speaker Masjid Nur Jaman baru saja selesai. Ia terisak memberitakan kematian Mustangin ke seluruh penduduk desa. Mustangin, lelaki berusia seratus tahun baru saja meninggal. Kata saksi mata, Mustangin sengaja mati di bawah hujan, lalu ia terbawa aliran air ke selokan dan berubah jadi ikan-ikan kecil menuju sungai. Tapi semua orang tahu kalau saksi mata itu hanya membual dan patut ditertawakan.

Berita kematian Mustangin itu tentu saja membuat heboh seisi desa. Tidak ada koran, tidak muncul di televisi, tetapi para lelaki di warung kopi ramai membicarakan Mustangin. Mustangin memang bukanlah siapa-siapa, dia hanya orang tua berusia seratus tahun yang menghuni rumah tua. Ia muncul dari punggung bukit, lalu duduk di warung kopi satu-satunya di desa itu. Hingga meninggal, tak satupun orang yang tahu dari mana dia berasal.

Desas-desusnya, Mustangin adalah warga korban gusur perusahaan minyak yang akan beroperasi di kampungnya. Keluarga lain mendapatkan ganti rugi yang sepadan, ada yang berlebih, tapi tidak kepada Mustangin. Karena tanah yang ia tinggali adalah tanah kakek neneknya sehingga tidak pernah sekalipun ia risau dengan surat-menyurat. Ketika waktunya penghitungan ganti rugi, tanahnya langsung dicaplok.

Ia berjalan hingga berbulan-bulan, ada yang mengatakan bertahun-tahun, sambil menangis. Tapi ia sering bercerita, jarak kampungnya dengan kampung ini hanya dua hari jalan kaki. Jadi banyak yang berspekulasi kalau dia berputar-putar sambil mencari dukungan agar tanahnya dikembalikan, atau dia berhenti dan bertapa di suatu tempat lalu ia melanjutkan perjalanan lagi. Tetapi itu misteri yang juga tidak jelas sampai Mustangin meninggal.

“Mustangin itu tipikal waliyullah yang menyamar. Ia sering terlihat termangu di depan rumah tuanya saat warga kesulitan air untuk mengairi sawah, lalu ia berdoa dan mendadak hujan turun,” kata Zulfikli. Dia tokoh agama, sekaligus bisa menyembuhkan bermacam penyakit.

Zulfikli, nama asli yang ia harapkan adalah Zulkifli. Tapi orang tuanya tidak bisa baca tulis sehingga ketika nama anaknya dicatat secara sembarangan oleh petugas sensus dari kecamatan, orang tua Zulfikli manut saja. Apalagi petugas kecamatan dibekali seragam dan pulpen yang terlihat mentereng bagi warga desa. Ketika mulai belajar agama di pondok pesantren, Zulfikli habis ditertawai semua ustad dan para santri.

Nama yang terbalik, kata kepala kamar santri kepada Zul, bisa membawa ketidakberuntungan. Zul akan bernasib buruk, tidak bahagia, dan sering kena masalah. Karena itu, Zul sering merasa kalau ilmu agama tidak pernah masuk dalam kepalanya karena namanya yang terbalik.

Saat usianya menginjak 40 tahun di Kampung Kudu, ia bertemu Mustangin di depan rumah. Orang-orang juga tahu ia bertemu dengan Mustangin. Yang tidak diketahui oleh warga kampung adalah, di saat itu Zulfikli merasa ada angin segar berhembus. Tiba-tiba ia mengingat semua ilmu tauhid, fikih, tajwid, hingga tasawwuf yang ia pelajari di pesantren. “Ini ilmu ladunni,” getar hati Zulfikli mengingat kepercayaan di pesantrennya, bahwa suatu hari seorang santri bisa tiba-tiba pandai tanpa tahu dari mana datangnya ilmu itu.

Sejak itulah ia mulai adzan di masjid, salat sendirian tanpa jemaah, lalu warga mulai berdatangan. Empat puluh hari kemudian ia dikenal sebagai kiyai dan dianggap mampu mengobati segala macam penyakit dengan semburan ludahnya.

“Bisa jadi, dia kan memang tidak pernah melukai hati orang? Selalu sendiri dan menghindari dari dosa-dosa, tidak seperti kita,” timpal Qohar. Dia semacam ajudan tak resmi dari Kyai Zul. “Dulu sewaktu sawahku kena tikus, saya lihat Mustangin tersenyum dari rumahnya saat aku mengantarkan anak lanangku ke sekolah, besoknya tikus tidak ada di sawah,” cerita Qohar membahana. Kali ini dia sengaja mengarang cerita agar lebih dipercaya oleh warga di sana.

***

Pagi sekali, setelah membongkar kotak amal masjid serta membersihkan rekening hingga tinggal Rp 50 ribu saja, Lek Sukardi berangkat ke Toko Bangunan Gunawan. Ia membeli 30 sak semen, tiga pick-up pasir, batu-bata, serta 10 timba cat warna putih. Semuanya dialamatkan ke Masjid Nur Jaman. Lek Sukardi akan membangun sebuah makam kosong yang diberi nisan Mustangin. Lek Sukardi percaya bahwa makam tersebut akan bisa memberi penghormatan yang baik kepada Mustangin.

Malam sebelumnya ia sudah berdiskusi dengan Kyai Zulfikli soal keinginannya. Setelah bicara hingga empat jam sejak pukul 9 malam, Kyai Zulfikli yang dongkol itu hanya bisa manggut-manggut. Ia sendiri kadang meragukan apakah Mustangin sehebat itu. Tetapi orang-orang terlanjur percaya bahwa dirinya mendapatkan pemahaman keagamaan setelah bertemu dengan Mustangin. Mau tidak mau, dia harus memberi izin untuk pembuatan makam atas nama Mustangin di belakang masjid.

Ketika membangun makam, Lek Sukardi mengajak 15 orang dewasa di Desa Kudu. Seringkali ia mendegar bunyi burung tekukur dan merasa bunyi burung itu sebagai doa kepada para pekerja. Mereka semakin giat dan semangat meskipun yang disediakan oleh Lek Sukardi hanya teh panas dan pisang bertundun-tundun karena di sekitar masjid banyak pisang. Kadang, Lek Sukardi tiba-tiba menghadap ke barat lalu diam selama lima belas menit. Semua pekerja melihat Lek Sukardi, tapi tidak berani menyapanya.

Kadang Lek Sukardi tiba-tiba mandi. Kadang Lek Sukardi tiba-tiba salat empat rakaat lalu kembali menemani pekerja makam. Hari itu pun sama, Lek Sukardi diam di tempat pohon kajaran yang tua. Bahkan ketika pekerja memanggilnya untuk istirahat minum teh, Lek Sukardi bergeming seolah-olah sedang mendengarkan seseorang dari balik pohon.

“Saya baru diajak ngobrol dengan Mustangin,” kata Lek Sukardi. Ia berjalan pelan lalu duduk di antara mereka yang sedang menyapu keringat.

“Dia katanya sudah enak di alam kubur, ada banyak keindahan yang dirasakan. Kalian tau kan tadi wajah Mustangin yang tersenyum-senyum?” tambah Lek Sukardi, sembari menebar pandangan ke pekerja.

Mereka tidak paham harus menjawab bagaimana karena memang tidak ada apa-apa yang bisa dilihat. Mereka hanya tau Lek Sukardi berdiri diam, dan tiba-tiba tersenyum, tiba-tiba ketawa, tiba-tiba selesai.

“Ada pesan dari Mustangin, kalau seluruh pekerja makam ini akan mendapatkan rejeki yang luas saat panen akhir musim ini. Ponakan Pak Supri nanti beasiswa kuliahnya pasti lancar, istrinya Lek Mad penjual kerupuk juga katanya bakal hamil lagi,”

Lek Sukardi kemudian masuk ke kamar mandi masjid. Terdengar suara debur air menyiram tubuhnya. Pekerja makam yang mendengar janji Mustangin lewat Lek Sukardi semakin menyadari bahwa pekerjaannya itu bisa membawa keberuntungan. Saat pulang bekerja, mereka menceritakan kisah bagaimana Lek Sukardi berbicara dengan Mustangin. Desas-desus bahwa Mustangin adalah wali besar semakin santer terdengar.

Bahkan di desa tetangga, terdengar pula bahwa makam Mustangin tiba-tiba muncul di belakang masjid padahal masyarakat Desa Kudu hanya bekerja pagi hari sebelum ke sawah. Tiba-tiba sore harinya, bangunan sudah muncul seolah-olah dikerjakan 15 pekerja dalam sekali waktu. Mereka semua membahas Mustangin yang hidup selama ratusan tahun. Mereka mendengar Mustangin dapat mengusir tikus. Mereka juga mendengar Kyai Zulfiki pandai gara-gara diludahi mulutnya oleh Mustangin.

Kyai Zulkifli marah tapi tidak tahu harus marah ke siapa. Ia tidak bisa melakukan apa-apa atas desas-desus. Suara angin tidak bisa didakwa melakukan kesalahan. Apa yang dipahami orang-orang desa, bagaimanapun tidak masuk akalnya, tidak bisa disangkal dengan logika. Kyai Zulfikli bahkan tidak bisa menerangkan lagi tentang bid’ah dan khurafat yang semakin merasuki pikiran warga desa.

Ia mengingat-ingat ketika beberapa kali salat subuh dini hari di masjid atau ketika salat dzuhur dan azhar, selalu saja ada orang asing dari desa tetangga yang datang membawa makanan dan dupa untuk diletakkan di makam kosong Mustangin. Warga desa juga akhirnya berdatangan. Mereka menganggap Mustangin yang telah meninggal itu memiliki karomah sehingga dapat menyebarkan wangi makamnya sampai ke desa-desa yang jauh dari Desa Kudu.

Semenjak mengurusi makam, Lek Sukardi sudah jarang terlihat di Masjid Nur Jaman. Ia memang selalu berwajah cerah dan bahagia. Berbeda sekali dengan Lek Sukardi yang dulu ia kenal, hanya petani tambak mujair kecil, selalu lusuh dan capek. Bahkan itu adalah sebuah keajaiban, pikir Kyai Zulfikli. Bagaimana bisa seorang yang meninggalkan masjid dan menjadi penjaga makam malah kelihatan bahagia? Kyai Zulfikli heran.

Sehari-hari Lek Sukardi menyapu dan mengepel makam yang lantainya dari granit. Kuburan kosong Mustangin bahkan dimarmer dengan biaya puluhan juta. Warga terbengong-bengong sedang Kyai Zulfikli semakin mencurigai ada yang salah dengan desa itu. Ia yakin, Lek Sukardi menyembunyikan sesuatu darinya. Padahal sejak awal Lek Sukardi hanya ingin membangun makan sederhana dari anyaman bambu, berdoa secukupnya kepada Mustangin, dan Kembali mengurusi masjid seperti biasanya.

**

Kamis malam, selepas memimpin jemaah salat isya’, Kyai Zulfikli duduk-duduk di serambi masjid. Lampu mati. Hampir pukul 10 malam, orang-orang yang ziarah ke makam belum juga sepi. Dari kejauhan, tiga orang yang tak ia kenal datang ke makam Mustangin. Kyai Zulkifli sebenarnya sudah tidak asing dengan kedatangan orang-orang ke makam itu. Bahkan bisa dibilang, dari hari ke hari semakin banyak yang berdatangan. Bahkan Masjid Nur Jaman sepi, tetapi orang yang berdoa di makam itu membeludak.

Ketika ia terus-menerus memandang ke tiga orang itu, dari arah samping makam muncul bayangan gelap berbau minyak misk. Bau itu menusuk hingga Kyai Zulfikli begidik, lalu bangkit dari duduknya. Ia melihat sosok itu, di kepalanya, ia yakin itu adalah Mustangin. Tubuhnya kelu, ia menelan ludah dan mengucapkan doa-doa secepat kilat. Bayangan itu tampak berjalan, terus maju hingga lampu dari makam menyorot dan terlihat Lek Sukardi berjalan ke arah Kyai Zulfikli.

“Astagfirullah, Lek Kardi, kukira tadi Mustangin,” ucap Kyai Zulkifli hampir setengah teriak. Ia masih terus mengucapkan istighfar dan kalimat syahadat.

“Lho Pak Kyai melihat Mustangin juga? Saya hampir tiap hari melihat Mustangin di sekitar tempat ini,” kata Lek Sukardi berbisik. Ia mengeluarkan bungkusan dari plastik hitam. Segepok uang diserahkan ke Kyai Zulkifli. “Ini uang buat Kyai, boleh buat pribadi, membangun pondok, boleh buat membangun masjid,” Lek Sukardi nyerocos.

“Masyallah, uang apa ini Lek?” Kyak Zulkifli masih belum mengulurkan tangannya.

“Ini dari Mustangin, kemarin malam saya bermimpi didatangi Mustangin. Lalu disuruh bongkar di bawah makam itu, katanya ada uang disuruh ngasih ke Kyai,” Lek Sukardi ngomong lancar dan meyakinkan.

Kyai Zulfikli masih diam. Ia masih terus saja merasa ada yang salah dengan semua hal yang mengarah ke Mustangin. Terutama sekali, perubahan Lek Sukardi yang awalnya lelaki kampungan, menjadi agak pintar dan penuh taktik. Melihat perubahan yang drastis sejak kematian Mustangin ini, Kyai Zulfikli terus saja membayangkan sesuatu yang buruk sedang terjadi.

Tiba-tiba ia jadi teringat tiga orang yang baru datang tadi. Seketika itu juga Kyai menuju ke makam meninggalkan Lek Sukardi. Ia masuk ke ruangan Lek Sukardi yang bersebelahan dengan makam, terlihat tiga orang itu sedang membungkuk di sebuah tirai. Kyai Zulfikli membuka tirai itu lalu tersingkaplah Mustangin, tanpa baju hanya memakai sarung. Kyai terperangah, Mustangin hampir lompat.

Tergopoh-gopoh Lek Sukardi datang dan mengusir tiga orang yang ada di sana. Lek Sukardi menutup pintu, menguncinya, lalu menenangkan Kyai Zulfikli.

“Jangan suruh aku tenang, bedebah anjing! Dalang dan wayang apa yang kalian mainkan?” teriak Kyai Zulfikli.

Mustangin keluar dari Lorong bertirai. Ia sudah memakai kaos longgar, lalu meminta Kyai Zulfikli duduk. Tetapi Kyai Zulfikli seperti tembok, kaku dan enggan roboh. “Ngomong sekarang, setan alas. Datang dari kuburan mana kau selama ini?” Kyai Zulfikli masih teriak.

Lek Sukardi menjulurkan jari ke mulutnya agar Kyai Zulfikli memelankan suara. Tampak sekali ia takut jika warga yang memuja Mustangin mendengar keributan itu.

“Aku tidak mati,” ucap Mustangin, pelan dan hampir tak terdengar. Tapi Kyai Zulfikli tahu apa yang akan dilanjutkan lelaki yang dianggap meludahi mulutnya hingga pandai agama itu.

“Kamu mati, pura-pura mati, Sukardi menebarkan desas-desus, kau dipuja, dan kalian mendapatkan sedekah dari itu semua. Nah seperti itu kan? Ngaku babi anjing,” teriak Kyai Zulfikli. “Kau Sukardi, habis uang amal masjid kau pakai bangun makam ini. Kurang ajar, kualat kau Kardi, Mustangin,” tangan Kyai Zulfikli mengacung-acung ke muka Sukardi.

Kyai Zulfikli keluar kamar tanpa bisa dicegah oleh Mustangin ataupun Lek Sukardi. Berat rasanya hati Kyai Zulfikli. Ia mengucap salam kepada seluruh penziarah. Ia meneteskan air mata. Terbata-bata, ia menjelaskan bahwa Mustangin hanyalah sosok orang tua yang baik di desa tersebut.

“Mustangin belum meninggal, dan ini makam kosong. Tidak ada yang bisa menolong kalian untuk menjadi kaya, pandai, atau mendapatkan manfaat lain di sini. Pulanglah,” ujar Kyai Zulfikli. Ia kemudian pergi. Ia ingin pulang. Air matanya masih menderas, sungguh dunia seperti hendak kiamat. “Kejahatan ditutupi dengan amat baiknya. Duh gusti, petaka apa yang kau turunkan ini,” lirik Kyai Zulfikli.


2021-11-08

Dilema Informasi di Masa Pandemi


Dua tahun setelah Covid-19 berkunjung dan memastikan dirinya menjadi salah satu hantu yang mematikan, ternyata kita masih gagap menghadapinya. Kita sembrono dan menganggap semuanya akan membaik dengan cepat. New normal yang direncanakan sejak 2020 tampaknya juga gagal. Sekarang kita selalu mengimajinasikan kehidupan normal lama dengan riuhnya pasar, coffee shop, bioskop, dan berwisata tanpa takut berdesakan dengan orang lain. Di mana kesadaran akan normalitas baru? Tidak ada.

Memandang kerumitan Covid-19 ini memang membutuhkan banyak sudut pandang, dan masing-masing memiliki solusinya sendiri. Ketika kami coba mendiskusikan permasalahan ini dengan mahasiswa jurnalistik di perguruan tinggi, kesimpulan dari seluruh masalah ini adalah kegagalan informasi dari komunikator kepada khalayak, termasuk media sebagai media komunikasi dari komunikator kepada khalayak. Komunikator ini bisa jadi pemerintah, bisa juga ahli kesehatan, dan juga seluruh influencer yang memposting informasi Covid-19. Tentu saja hal semacam ini perlu dikaji, terutama dari sudut pandang informasi yang serba dilematis di media digital.

Industri informasi yang dikelola oleh media massa dan disemarakkan oleh media sosial membuat kita mengetahui setiap informasi di penjuru bumi. Sekarang kita bisa mengetahui tempat-tempat paling tersembunyi di dunia, sekaligus mengetahui peningkatan kasus Covid-19, kematian yang mengiringinya, hingga pembatasan kegiatan masyarakat yang menyebabkan chaos di mana-mana. Informasi, sebagaimana sebuah senjata bisa menjadi pelindung paling efektif dari kejahatan, sekaligus sumber kejahatan itu sendiri.

Pandemi memang membuat fisik kita ambruk. Tapi informasi yang mengerikan tentang Covid-19 membuat mental kita lumpuh. Kita menghadapi tantangan yang belum pernah dirasakan oleh manusia sebelum kita: infodemik. Infodemik merupakan wabah informasi yang membanjiri lingkungan kita, baik luring maupun daring. Media online, media sosial, aplikasi pesan instan, hingga percakapan di tempat kerja dan warung kopi, semuanya membahas isu yang sama. Semakin besar informasi menyebar, semakin kita tidak mampu menyaring informasi tersebut.

Ambiguitas Sumber Informasi

Banjir informasi Covid-19 membuat sekelompok orang menyerukan setop membaca berita. Alasannya, berita Covid-19 membuat hidup tidak tenang. Ide diet media (media detox) memang keren dan seolah-olah mampu menyelamatkan mental khalayak umum. Namun sesungguhnya, ada yang berbahaya dari kampanye meninggalkan berita Covid-19. Kita diajak untuk memanipulasi pikiran bahwa tidak ada apa-apa di luar sana. Kita menutup diri dari seluruh kabar buruk padahal kenyataan itu ada. Hal ini dapat membuat kita buta kenyataan, lalu abai terhadap protokol kesehatan.

Informasi yang ada di media massa memang tidak sepenuhnya benar, tetapi tidak membaca berita bukanlah pilihan yang bijak. Situasi apapun yang kita hadapi, media-media mainstream merupakan rujukan informasi yang paling bisa dipercaya. Kita bisa menghitung beberapa sumber informasi selain media massa, namun tingkat kepercayaan informasinya tentu akan sulit mengimbangi media. Jika jurnal ilmiah kita masukkan sebagai sumber informasi, misalnya, tentu akurat. Tetapi kemampuan jurnal ilmiah untuk update informasi dengan cepat masih kalau jauh dibanding media.

Media sosial kini juga menjadi salah satu sumber informasi utama masyarakat. Padahal dalam berbagai laporan yang diterbitkan Mafindo maupun Kominfo RI, media sosial menjadi sumber hoaks yang paling dominan. Facebook, Twitter, Instagram, dan aplikasi chatting WhatsApps merupakan empat besar pemegang sumber informasi hoaks terbesar. Meskipun media sosial memberikan informasi secara cepat, namun akurasinya sangat buruk. Karena pemilik akun media sosial tidak memiliki pegangan moral maupun institusional untuk menyaring informasi yang hendak disebarkan.

Informasi di media sosial cenderung bebas, tanpa filter, dan tendensius. Kita harus berhati-hati terhadap informasi yang disebarkan oleh keempat media di atas. Namun sayangnya, berbagai sumber statistik menyebutkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia terus membesar. Bahkan awal tahun 2021 ini, lebih dari 60% penduduk Indonesia menjadi pengguna media sosial. Ini sebuah tantangan yang luar biasa bagi seluruh komponen masyarakat.

Cerdas Konsumsi Informasi

Sebenarnya, Kementrian Komunikasi & Informasi RI, bekerjasama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital, dan Siber Kreasi, telah menerbitkan empat buku literasi digital. Buku ini sedikitnya berisi konsep, problematika, dan strategi yang bisa digunakan untuk memberantas buta literasi masyarakat umum. Selain pembuatan buku, saat ini Kominfo dan Siber Kreasi mengucurkan dana yang besar untuk perluasan literasi digital masyarakat. Hampir setiap hari ada kegiatan literasi digital mulai dari Jakarta hingga Papua secara daring. Kita memang masih belum dapat mengukur tingkat keberhasilannya, tapi setidaknya upaya ini sudah dilakukan.

Membangun masyarakat yang terliterasi tidak dapat dijalankan oleh satu komponen saja. Seluruh warga negara harus berpartisipasi aktif mencerdaskan dirinya sendiri. Dalam buku Digital Culture yang diterbitkan Kominfo RI, ada beberapa kecakapan yang sekarang harus dimiliki warga digital, pertama cakap paham yaitu kemampuan masyarakat untuk memahami setiap informasi yang ada di dunia digital, kedua cakap produksi yaitu masyarakat harus mampu membuat informasi di media digital yang benar dan aman, ketiga cakap distribusi, yaitu kemampuan masyarakat menyebarkan informasi yang sudah terverifikasi dan dapat dipercaya.

Keempat, cakap partisipasi, yaitu masyarakat harus mampu berpartisipasi menjaga konten positif di media digital, dan kelima cakap kolaborasi, masyarakat pada akhirnya dapat bekerja sama untuk menciptakan suatu ruang yang aman dan nyaman di media digital. Kelima kecakapan ini harus dimiliki oleh setiap orang yang mampu membuat konten dan menyebarkannya di media digital. Setiap pengguna media sosial misalnya, harus proaktif untuk menyuarakan kecakapan tersebut sehingga dia bisa mengajak, mengingatkan, hingga meluruskan jika ada konten negatif yang muncul di beranda media sosialnya.

Tentu saja, kecakapan ini tidak akan mudah disebarkan kepada seluruh pengguna platform digital. Perlu keseriusan dari masyarakat dan perlu dukungan dari pemerintah untuk menggerakkan seluruh elemen agar memiliki kecakapan yang serupa. Sekali lagi, informasi yang ada di media massa, media sosial, maupun aplikasi chatting tidak untuk ditakuti. Mari kita baca seluruh informasi dengan kecakapan baru; kecakapan komunikasi di ruang digital. Dengan demikian, terjagalah mental kita dari kepanikan akibat berita Covid-19.

Tulisan ini dimuat oleh Geotimes, link: https://geotimes.id/opini/dilema-informasi-di-masa-pandemi/ 

2021-10-14

Dialektika Kecantikan Perempuan


Dunia sekarang digerakkan oleh kapitalisme. Tesis ini bukanlah sesuatu yang baru, paling tidak sudah ada sejak tahun 1800-an ketika Karl Marx menciptakan teori yang menjadi basis paradigma kritis sampai sekarang. Marx yakin bahawa basic structure kehidupan adalah ekonomi, yang memengaruhi super structure seperti sosial, budaya, politik, bahkan agama. Berdasar pemikiran ini maka semua struktur yang ada di masyarakat hendak menguntungkan kapitalis, dan kemudian melemahkan masyarakat kelas bawah.

Marx memang tidak pernah memikirkan tentang kekuatan media yang akan menjadi pondasi dasar dunia modern seperti sekarang. Sehingga Marx pada dasarnya tidak pernah membincang secara khusus media sebagai alat utama kapitalis untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan kelompok tertentu. Armando (2016:25)[1] mengatakan, baru pada abad ke 20, para pemikir yang melanjutkan gagasan Marx memusatkan perhatian pada media massa, khususnya media massa komersial sebagai sarana pelanggengan kapitalisme yang eksploitatif.

Kita bisa melihat banyak sekali persoalan yang ditimbulkan oleh media massa yang berakibat pada berubahnya pola pikir masyarakat, yang dahsyatnya, berubah bersama-sama dalam satu waktu. Manusia yang beragam menjadi ‘manusia satu dimensi’ –meminjam istilah Herbert Marcuse-, karena disatukan oleh ideologi yang dibentuk oleh media massa. Persoalan umum yang dianggap penting seperti nasionalisme, perdamaian, intelektual, olahraga, dan politik, juga persoalan terpinggirkan seperti rasisme, kekerasan, perempuan, dan makna-makna kehidupan, semua dibentuk oleh media massa.

Proses penciptaan makna oleh media massa ini telah berjalan lama dengan satu konsistensi; menguntungkan kapitalisme, sehingga merugikan pihak yang biasanya tersubordinasi. Penciptaan makna perempuan, misalnya, memiliki sejarah panjang yang berubah-ubah, tidak masuk akal, hipermakna, dan jauh dari pengertian sehari-hari masyarakat penggunanya. Berdasarkan banyak penelitian akademik, media massa selalu memosisikan perempuan sebagai obyek, termarjinalisasi, penuh stereotip, dan selalu menjadi korban kekerasan baik fisik maupun mental.

Untuk memahami makna perempuan secara utuh, kita harus mau bersusah-payah melacak sejarah ‘perempuan cantik’ sebagaimana metode yang dilakukan Nietzche maupun Foucault untuk menilik satu pengertian dari kosa kata yang sudah dimapankan artinya. Nietzche terkenal dengan pelacakannya atas asal-usul moral dan tragedi dalam masyarakat, sedangkan Foucault merunut makna seks dan penjara dari masa pra modern hingga kontemporer. Mereka berdua menemukan makna yang berubah-ubah dari setiap zaman sehingga bisa disimpulkan bahwa kebenaran dibentuk oleh penguasa untuk mengontrol masyarakat dan melanggengkan sistem kekuasaan.

Ada dua cara yang bisa digunakan untuk mengupas penciptaan makna perempuan oleh media massa yang tanpa dasar. Pertama kita bisa melihat makna perempuan cantik dalam berbagai zaman. Asal-usul kecantikan ini akan menguak bagaimana kecantikan sebenarnya konstruksi zaman tertentu yang akan berubah jika ada kepentingan lain yang tidak sesuai dengan makna yang telah ada. Kedua, cantik bagi perempuan bisa dilacak dari penggunaan istilah tersebut antar budaya yang ada di dunia. Mengetahui makna yang berbeda ini akan membuat perpektif kecantikan yang sesuai dengan pemaknaan masyarakat penggunanya, bukan ditentukan oleh lembaga luar seperti media massa.

Evolusi Kecantikan

Kajian tentang evolusi kecantikan dari masa ke masa tidak berkembang di Indonesia karena bangsa ini lebih suka mengimpor segala sesuatu dari luar negeri. Dalam banyak hal, sesuatu dianggap berharga dan bernilai tinggi karena kaitannya dengan produk oriental. Karena itu banyak meme tentang harga black coffee jauh lebih mahal dibanding kopi, fried rice lebih mahal dibanding nasi goreng, dan ayam bangkok lebih mahal dibanding ayam kampung. Maka jangan heran, perempuan Indonesia hasil keturunan silang dengan luar negeri selalu memiliki nilai tawar tinggi karena dianggap lebih ‘cantik’ dibandingkan dengan perempuan asli keturunan Indonesia.

Karena itu kita hanya dapat melacak sejarah kecantikan yang tidak masuk akal ini dari dunia barat. Kita bisa mulai dari seorang filosof tersohor dan ahli matematika, Pytaghoras (570 – 495 SM), yang mendefinisikan kecantikan dengan logika matematis. Karena zaman itu, matematika menjadi dasar dari segala sesuatu, bahkan entitas abstrak bisa dianggap ada dan pasti ketika dapat dibuktikan dengan dalil matematika. Nahai (2014) mengatakan bahwa Pythagoras believed that beauty was intertwined with static mathematical principles of symmetry and proportion.[2] Seseorang dikatakan cantik, dengan bahasa lain adalah ‘sempurna’ jika wajahnya simetris dan sesuai proporsional wajahnya.

Definisi kecantikan yang diutarakan Pythagoras memang masuk akal karena simetris tampak indah dan menawan. Memiliki wajah atau tubuh yang asimetris bisa menjadi sumber ketidakpercayaan diri yang bahkan bisa menimbulkan ketidakterimaan terhadap kediriannya. Definisi yang dipaksakan oleh orang lain, atau ororitas lain seperti tokoh penting atau media massa terhadap tubuh individu memang berbahaya. Selain definisi Pythagoras, kita bisa mendapatkan makna lain atas kecantikan yang sangat jauh berbeda dengan yang dibentuk media massa saat ini.

Seperti yang ditulis oleh Jacqueline Howard untuk CNN[3] tentang sejarah kecantikan pada masa prasejarah hingga kontemporer. Ia mengungkap adanya sculpture (patung) ‘Venus Figurines’ dan termasuk di dalamnya juga ‘Venus Willendorf’ yang ditemukan pada tahun 1908 di Willendorf, Austria, yang merepresentasikan kecantikan perempuan sebagai tubuh seperti buah pir, menggelambir, dan bisa diistilahkan dengan ‘gemuk’. Patung lain yang juga fenomenal adalah ‘Venus de Milo’ yang digambarkan sebagai ‘Dewi Aphrodite’, yaitu Dewi Cinta dan Kecantikan yang menggambarkan perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki banyak lekukan, tubuh besar dan pendek.

Penggambaran cantik yang berbeda-beda ini terus berlangsung, terutama dilakukan oleh beberapa seniman yang berhasil membawa konsep-konsep baru terhadap kecantikan. Karena itu ada istilah cantik versi ‘Rubenerque’, yakni cantik ala pelukis Peter Paul Rubens yang direpresentasikan dengan plump or rounded (montok dan bulat) yang tampak dalam lukisan-lukisannya. Ada pula kecantikan ‘Gadis Gibson’ yang jangkung, kelas atas, berpendidikan, bahkan bisa berkompetisi dengan lelaki yang merupakan hasil dari representasi lukisan Charles Dana Gibson (lihat Palso, 2001)[4]. Lalu pelukis terkenal seperti Matisse dan Picsasso juga menciptakan trend kecantikannya sendiri yang diamini banyak orang.

Di bawah ini adalah tabel penggambaran kecantikan yang harus dimiliki perempuan dari masa ke masa, yang lagi-lagi menunjukkan bahwa kecantikan merupakan konstruksi yang lebih banyak merusak dari pada memberikan kebaikan. Karena tabel ini juga mengindikasikan adanya inkonsistensi makna kecantikan sehingga seseorang, baik perempuan maupun laki-laki, menggunakan standar semu dalam memandang kecantikan orang lain. Sumber tabel ini adalah sebuah video berdurasi 3.10 menit yang dibuat oleh Eugene Lee Yang, Mark Celestino, dan Kari Koeppel (2015)[5] untuk Buzzfeed yang diunggah di Youtube dan ditonton lebih dari 46 juta manusia.

Age of History

Beauty Standards

Model & Describing

Ancient Egypt (1292 – 1069 BC)

Slender, Narrow Shoulders, High Waist, Symmetrical Face

Queen Nevertiti

‘Women in ancient Egypt enjoyed many freedoms that would take thousands of years for women to enjoy again. Ancient Egyptian society was sex-positive, and premarital sex was entirely acceptable’

Ancient Greece (500 – 300 BC)

Plump, Full-Bodied, Light Skin

Aphrodite of Cnidus, Male-centric

‘Ancient Greece worshiped the male form, going so far as to proclaim that women’s bodies were ‘disfigured’ versions of men’

Han Dynasty (206 BC – 220 AD)

Slim Waist, Pale Skin, Large Eyes, Small Feet

Chinese Painting

‘During the Han Dynasty, Chinese culture favored slim women with long black hair, white teeth and red lips’

Italian Renaissance (1400 – 1700 AD)

Ample Bosom, Rounded Stomach, Full Hips, Fair Skin

Women Figures in the Raphael’s Painting

‘During the Italian Renaissance, it was the wife’s duty to reflect her husband’s status, both in behavior and outward appearance.

Victorian England (1837 – 1901 AD)

Desirably Plump, Full-figured, Cinched-waist

Hourglass Body

‘The era of the corset. In this time period, women cinched their waists with tight-fitting undergarments to give the perception of the desirable hourglass figure’

Roaring Twenties (1920s AD)

Flat Chest, Downplayed Waist, Short Bob Hairstyle, Boyish Figure

Androgynus Look

‘Beauty in the 1920s featured an androgynous look for women– they wore bras that flattened their chest and wore clothing that gave them a curve-less look’ (Vanessa, 2015)[6]

Golden Age of Hollywood (1930-1950s)

Curves, Hourglass Figure, Large Breasts, Slim Waist

Marlyn Monroe

‘During the golden age of hollywood, the hays code establishing moral parameters regarding what could or couldn’t be said, shown, or implied in film, and limited the types of roles available to women, creating an idealized version of women’

Swinging Sixties (1960s)

Willowy, Thin, Long, slim Legs, Adolescent Physique

 

The Beatles, Twiggy, etc.

‘Swinging London had a profound influence throughout the western world and helped usher miniskirts and A-line shapes into fashion. These fashions were best modeled by Twiggy, whose slender frame changed the ideal body type from curvy to tall and thin’

Supermodel Era (1980s)

Athletic, Svelte, but Curvy, Tall, Toned Arms

Cindy Crawford, Elle Macpherson, etc

‘This time period brought about an exercise-crazed phenomenon. Workout videos were all the rage, encouraging women to be thin, but also fit’ (

Heroin Chic (1990s)

Waifish, Extremely Thin, Translucent Skin, Androgynous

Kate Moss, - a nihilistic vision of beauty-

‘After the materialism and overexertion of the 1980s, fashion swung the other way. Thin, withdrawn, and pale, Kate Moss typified the heroin chic look in the 1990s’

Postmodern Beauty (2000s – Today)

Flat Stomach, ‘Healthy’ Skinny, Large Breasts + Butt, Thigh Gap

Kim Kardashian

‘Women in the 2000s have been bombarded with so many different requirements of attractiveness. Women should be skinny, but healthy; they should have large breasts and a large butt, but a flat stomach.’

Tabel 1. Evolusi kecantikan dari zaman ke zaman

Makna perempuan cantik yang terus berubah merupakan bukti bahwa dunia sedang berdialektika. Istilah dialektika pertama kali digunakan oleh Socrates sebagai metode pengungkapan filsafat melalui dialog. Tetapi istilah dialektika yang dimaksud dalam tulisan ini lebih condong ke penggunaan G.W.F Hegel yang menjelaskan dialektika sebagai ‘all ‘things’ are actually processes, that these processes are in constant motion, or development, and that this development is driven by the tension created by two interrelated opposites acting in contradiction with each other’ (Au, 2007, dalam Dybicz dan Pyles, 2011).[7]

Bahwa dunia ini bergerak oleh dua kutub saling berlawanan, yang pada akhirnya akan menghasilkan satu konsep yang mengharmoniskan dua kutub tersebut. Istilahnya : tesis, antithesis, dan sintesis. Tesis adalah satu konsep baru yang dimunculkan untuk menjawab pertanyaan terhadap dunia ini atau suatu simpulan terhadap permasalahan yang ada. Tesis ini bukanlah suatu kebenaran absolut sehingga akan melahirkan antithesis, yang merupakan reaksi bertolakbelakang terhadap tesis itu. Tesis dan antithesis akan terus bergumul untuk menemukan kebenaran atau jawaban baru : sintesis.

Uniknya dalam dialektika, sintesis akan digunakan manusia untuk memahami kondisi tertentu dari kehidupan sehingga sintesis menjadi sebuah tesis baru. Tesis baru menimbulkan reaksi dari antitesis lalu lahir kembali sintesis. Tesis-antitesis-sintesis ini bisa dipakai untuk menganalogikan makna kecantikan yang terus-menerus mengalami perubahan (berdialektika) dan suatu saat akan menemukan sintesisnya. Masalahnya sekarang, sejarah makna cantik ini berevoluasi dan diproduksi karena tujuan kapitalistik. Karena itu dapat diprediksi bahwa apapun yang terjadi, tesis-antitesis-sintesis kecantikan akan selalu kembali pada keuntungan industri, bukan keuntungan pemilik ‘body’.

Kita mulai dengan melihat perempuan cantik dalam sejarah pertama, yang direpresentasikan oleh Ratu Nevertiti, sehingga siapapun yang tidak memiliki ciri fisik seperti sang ratu maka dia tidak cantik. Pelan-pelan, kecantikan direpresentasikan dalam berbagai cara -memalukan dan menyakitkan- berdasarkan kesenangan para pelukis dan pematung, lalu ditentukan oleh model dan majalah, dan terakhir ditentukan oleh produk-produk kecantikan yang menciptakan kebutuhan terhadap kosmetik. Meskipun sejarah kecantikan berdialektika dengan lingkungan ekonomi-sosialnya, namun tetap saja bisa dikatakan sebagai tidak ada perubahan yang berarti.

Perempuan tetap menjadi obyek, dan perempuan cantik adalah obyek yang mahal. Ada satu garis yang tidak pernah putus terkait makna cantik yang disandangkan kepada perempuan, yaitu kecantikan itu tidak pernah tercipta dari kesadaran mendalam terhadap makna perempuan. Cantik adalah hal fisik yang bisa diperjual-belikan. Dialektika yang terjadi terhadap makna kecantikan berjalan statis, tidak mengalir, bukan berproses menuju sesuatu yang baru, bahkan tidak menuju kecantikan yang membebaskan. Perempuan akan terus terjebak dalam makna bias ini lalu melahirkan rasa rendah diri lalu menyakiti diri melalui metode-metode operasi plastik.

Operasi plastik merupakan salah satu kondisi riil dunia ini yang hendak melawan tuhan dan alam. Ilmu pengetahuan, yang menurut Foucault bersanding dengan kekuasaan, akhirnya betul-betul melahirkan kuasa mengubah struktur tubuh perempuan untuk menjadi ‘seakan-akan’ seperti yang diinginkan, padahal maksudnya adalah ‘menjadi seperti yang diiklankan’. Modernitas menghasilkan industri, industri menghasilkan teknologi, dan teknologi menjajah manusia. Penjajahan manusia kembali pada fisik, bedanya, jika masa lalu menghasilkan penolakan, maka penjajahan masa kini menghadirkan penghambaan suka rela.

Meningkatnya prosedur operasi kecantikan yang dijalani oleh perempuan dari tahun ke tahun merupakan bukti bahwa industri kecantikan sudah berhasil memperdaya perempuan secara langsung. Jangan lupa, laki-laki juga telah diperdaya secara tidak langsung tentang ‘perempuan cantik’ dengan menciptakan versi kecantikan yang menimbulkan fantasi kepada laki-laki. Saat ini laki-laki pun mengamini bahwa cantik adalah perempuan yang seperti lenggak-lenggok bintang iklan. Data-data di bawah ini menambah kelam pemaknaan kecantikan yang ambigu, palsu, dan menenggelamkan setiap manusia ke lubang rendah diri yang akut.

Pada tahun 2016[8], The International Society of Aesthetic Plastic Surgery (ISAPS) melakukan survei terhadap 35.000 ahli bedah plastik yang masuk dalam database-nya, dan menemukan bahwa 86% lebih konsumen bedah plastik adalah perempuan, yaitu sebanyak 20,362,655 orang, dan laki-laki sebanyak 13% dengan total 3,264,254 konsumen. Dari data ISAPS tersebut, 15,8% dari total perempuan yang melakukan operasi plastik adalah membesarkan payudara (breast augmentation), yang memang dari tahun ke tahun bertengger di nomor satu. Disusul 14% adalah sedot lemak (liposuction) yakni prosedur operasi yang bertujuan menghilangkan kelebihan lemak.

Ini menunjukkan bahwa mitos kecantikan yang dibangun media massa berhasil menggerakkan budaya operasi plastik demi mendapatkan tubuh ‘ideal’ versi iklan, yaitu tubuh langsing dan memiliki payudara besar. Kondisi ini jangan dilihat dari perspektif ilmu kedokteran yang telah berhasil menciptakan inovasi di bidang operasi plastik sehingga bisa mengubah bentuk fisik manusia dengan presisi. Lebih dari itu, motivasi pasien yang menjalani operasi plastik harus dibetulkan, karena mereka sebenarnya korban dari kekerasan mental yang selama ini didialektiskan (baca: didiktekan) oleh iklan dan media massa.

Pada masa ini, kesadaran akan kecantikan yang dibentuk sejak kecil sebagai ‘kecantikan datang dalam berbagai bentuk dan ukuran’ tidak akan dipercaya lagi. Bisa jadi kita percaya saat kita tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi ketika kita dalam kondisi biasa saja atau mampu melakukan apa saja, maka bentuk-bentuk kecantikan yang telah didiktekan oleh media massa menjadi pilihan. Orang yang tidak bisa melakukan operasi plastik akan menganggap bahwa tindakan itu hanyalah pemborosan dan perbuatan terlarang karena mengubah bentuk yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Bagi orang yang dikaruniai kemampuan melakukan operasi plasti, tentu saja memiliki alasan tersendiri : untuk meningkatkan kepercayaan diri.

Kebutuhan Palsu dan Kebutuhan Meredefinisi Kecantikan

Harus diketahui bahwa di setiap sejarah kecantikan itu selalu muncul dari momen kapitalistik karena hubungannya yang jelas pada keuntungan ekonomi. Standar kecantikan buatan yang tidak dimiliki oleh setiap perempuan dimanfaatkan dan diolah sedemikian rupa oleh media massa sehingga menciptakan kebutuhan palsu. Bayangkan, siapa di sekitar kita ini memiliki kecantikan ala pos-modern yang direpresentasikan oleh Kim Kardashian yang flat stomach, large breast & butt? Meskipun produk yang diiklankan ini tidak bisa dipercaya untuk membentuk kecantikan seperti standar iklan, tetapi perempuan terlanjur percaya lalu membeli produk tersebut.

Kondisi di atas adalah masalah yang harus diselesaikan oleh seluruh ras manusia yang masih waras dan menginginkan perubahan yang baik bagi semua. Tetapi masalah sesungguhnya sering muncul dari diri kita dalam kehidupan sehari-hari, bahkan muncul juga dari seorang dosen komunikasi yang mengajar public relations. Banyak ditemukan model pengajaran public relations yang mengharuskan mahasiswanya menggunakan baju hem putih, jas dan berdasi bagi laki-laki, dan blazer serta rok selutut bagi perempuan. Realitas ini merupakan ritual kebodohan yang dilakukan sepanjang tahun, serta menandakan pemujaan terhadap hal-hal yang berbau permukaan: pakaian rapi lambang kesuksesan.

Semua orang tanpa terkecuali harus memahami bahwa kita telah ditekan sedemikian rupa oleh modernisme sehingga memiliki pandangan yang sama terhadap segala sesuatu. Senin-Jumat sebagian besar manusia digerakkan menuju kantornya masing-masing dan bekerja hingga suntuk. Sabtu-Minggu seluruh manusia digerakkan oleh motif liburan yang sama, dengan tujuan ke lokasi wisata yang sama : pantai, gunung, taman rekreasi, kebun buah, hotel, kafe, bioskop, dan liburan sampai mabuk. Saat lapar pun demikian, kita dirapatkan barisan antri di McDonald, KFC, Pizza Hut, jangan lupa Go Food, lalu bersama-sama mengagumi iklan sabun, iklan shampoo, iklan bedak, iklan kondom, yang semuanya menampilkan perempuan dengan standar yang sama.



[1] Armando, Ade. 2016. Televisi di Bawah Kapitalisme Global. Jakarta: Kompas

[2] Nahai, Foad. 2014. Evolutionary Beauty. Aesthetic Surgery Journal. Vol 34 (3) 469-471

[3] Howard, Jacqueline. 2018. The History of the Ideal Woman and Where that has Left Us. viewed on 2 September 2018 at https://edition.cnn.com/2018/03/07/health/body-image-history-of-beauty-explainer-intl/index.html

[4] Palso, Jenifer Raina-Joy. 2001. Faces of Feminism: The Gibson Girl and the Held Flapper in Early Tweentieth-Century Mass Culture. Presented to the American Culture Faculty at the University of Michigan-Flint.

[5] https://youtu.be/Xrp0zJZu0a4

[6] Vanessa. 2015. Ideal Body Types Throughout History. Viewed 4 September 2018 at https://www.scienceofpeople.com/ideal-body-types-throughout-history/

[7] Dybicz, Philip & Pyles, Loretta. 2011. The Dialectic Method : Critical and Postmodern Alternative to be Scientic Mehtod. Journal Advances in Social Work Vol 12 (2) 301-317

[8] International Society of Aesthetic Plastic Surgery. 2016. Global Aesthetic Survey ‘Demand for Cosmetic Surgery Procedures Around the World Continues to Skyrocket – Usa, Brazil, Japan, Italy and Mexico Ranked in the Top Five Countries’. USA : ISAPS

2021-07-23

Sesat Paham “Stop Baca Berita Covid-19”


Virus corona yang melanda dunia membuat kita panik. Namun panik ini seharusnya tidak membuat manusia menjadi bebal. Berbagai kepanikan yang kita alami sudah cukup membahayakan. Kita masih mengingat panic buying awal tahun 2020 yang membuat kebutuhan pokok sulit dicari. Kita juga mengingat kelangkaan masker padahal masker merupakan salah satu kebutuhan primer di kala pandemi. Sekarang muncul lagi kepanikan membaca berita Covid-19, lalu menyerukan agar masyarakat berhenti membaca berita. Kepanikan terakhir ini menyesatkan dan sudah keterlaluan. Kita harus mengatasi kebebalan ini bersama-sama dengan sebuah pemahaman, bukan hujatan.

Panic attact yang dialami masyarakat Indonesia memang lebih banyak disebabkan oleh banjirnya informasi pandemi Covid-19. Kita tidak menutup kenyataan ini; media massa dan media sosial penuh dengan berita tentang kematian, oksigen habis, konflik antara masyarakat dan Satpol PP, hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Namun tentu saja, media massa tidak serta merta bersalah lalu seruan berhenti membaca berita menjadi benar. Kita perlu melihat, masyarakat sebagai konsumen informasi juga bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, termasuk bertanggung jawab terhadap Kesehatan mental orang lain.

Tulisan ini, berkeinginan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat umum bahwa media massa bukanlah media sosial yang sering menjadi sumber pemicu hoaks. Media sosial dikelola individu dan tidak ada penyaring informasi yang kredibel. Bahkan, media sosial bisa jadi hanya mengutip sebagian, cropping atau sharescreen pada bagian-bagian tertentu pemberitaan media. Karena itu, pikiran masyarakat akhirnya buntu, informasi meluas namun menyesatkan, dan kita begitu saja percaya dengan sebaran informasi di media sosial. Jadi, kita perlu memahami fenomena banjir informasi ini lalu menimbang keputusan apa yang tepat bagi kita.

Media Massa VS Media Sosial

Pengetahuan kita terbatas. Media massa yang melaksanakan kerja-kerja jurnalistik membuat pengetahuan kita meluas dan mendalam. Terlepas dari debat baik-buruknya media di Indonesia, kita dapat menggarisbawahi, bahwa media massa masihlah merupakan satu-satunya sumber terpercaya untuk mengetahui informasi di sekitar kita. Ada beberapa alasan mengapa kita masih harus percaya dengan media massa dibanding sumber anonym di internet maupun sumber personal di media sosial. Pertama, media massa memiliki regulasi berdasarkan undang-undang dan kode etik yang harus dipatuhi. Regulasi ini tidak mungkin diabaikan begitu saja oleh media massa.

Kedua, media massa memiliki tanggung jawab moral dan finansial terhadap pembaca. Tanggung jawab moral berarti media massa harus menyajikan berita yang benar dan terpercaya, tanggung jawab finansial karena pembaca yang setia akan mampu menarik iklan ke media massa tersebut. Ketiga, jurnalis dalam bekerja selalu diikat dalam kode etik. Baik dalam tindakan sendiri-sendiri maupun kolektif, jurnalis tidak bisa lepas dari etika tersebut. Bahkan jurnalis juga diikat dalam organisasi profesi yang di dalamnya para jurnalis saling mendorong untuk mematuhi kode etik tersebut. 

Keempat, dalam proses peliputan hingga publikasi informasi, media massa diawasi oleh masyarakat luas. Khalayak yang setiap hari membaca, menonton, dan mendengarkan berita ini menjadi komunitas luas yang turut menjamin kualitas media massa. Keempat hal tersebut, ditambah dengan adanya proses ketat penyaringan informasi oleh gatekeeper -biasanya redaktur dan pimpinan redaksi yang bertanggung jawab- menjadi alasan media massa masihlah lembaga terpercaya. Ya, sekali lagi, meskipun etika jurnalistik tidak seratus persen dilakukan ketika peliputan hingga pertimbangan publikasi informasi. Namun setidaknya beberapa hal di atas patut dipertimbangkan untuk mempercayai media.

Berbeda dengan media massa, media sosial beserta seluruh aplikasi pesan instan yang sekarang kita gunakan tidak memiliki kompetensi tersebut. Media sosial dikelola oleh perorangan dan kelompok yang memiliki tendensi tertentu tanpa takut postingan itu akan dihujat. Apalagi tidak ada hukum yang mengikat secara ketat bagaimana mereka harus berbicara di ruang bebas tersebut. Jikapun ada UU ITE yang sering dianggap mengancam kebebasan berpendapat, kenyataannya tidak semua orang yang bicara kotor dan menyesatkan di media sosial akan terjangkau UU tersebut.

Kekacauan Literasi

Problem utama dari seruan ‘stop membaca berita covid-19” ini adalah karena masyarakat sulit membedakan postingan media sosial dan publikasi di media massa. Banyak sekali potongan berita di media massa, cuplikan video dari berita televisi, yang dicomot begitu saja lalu disebar melalui media sosial. Tentu, narasi yang dibangun oleh media sosial kebanyakan berbeda dengan isi berita sesungguhnya. Kondisi ini didukung oleh kemalasan masyarakat umum untuk langsung membaca atau menonton berita dari sumber utamanya. Mereka biasanya percaya begitu saja apa yang disebarkan oleh pengguna media sosial.

Media sosial di sisi lain juga menyesatkan karena munculnya echo chamber atau filter bubble. Echo chamber merupakan analogi bahwa yang bergema di ruang kosong adalah suara kita sendiri. Sedangkan filter bubble merupakan analogi bahwa kita disatukan oleh gelembung pemikiran yang sama, dan tidak menoleransi orang yang berbeda pemikiran. Artinya, ruang lingkup pertemanan kita biasanya orang-orang yang memiliki pikiran yang sama. Ini merupakan jebakan media sosial. Sudah sering kita melihat para pengguna media sosial saling memblock, unfollow, dan unfriend gara-gara berbeda pilihan politik, gara-gara tidak suka terhadap status tentang agama, bahkan karena beda klub sepak bola.

Berhenti membaca berita bukanlah sebuah solusi yang bijak. Apalagi berita ini tentang Covid-19 yang nyata-nyata sedang mengisolasi kita agar selalu berada di rumah. Informasi di media menyediakan seperangkat pengetahuan kepada kita untuk menghadapi Covid-19, sedangkan media sosial memutarbaliknya menjadi pengetahuan yang menyesatkan. Sebagaimana tanggapan banyak pegiat anti hoaks, musuh utama kita bukanlah informasi tentang Covid-19, tetapi hoaks tentang Covid-19. Karena itu, sudah waktunya masyarakat luas menyadari pentingnya memahami pesan-pesan di media, mampu memilihnya, dan menyaring setiap informasi sebelum dipercaya dan disebarluaskan.

Fathul Qorib, mantan wartawan yang sekarang menjadi staf pengajar dan peneliti media pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tungga Dewi, Malang.